Imperium
Britania
|
Imperium Britania
|
|
|
|
Peta wilayah
yang pernah menjadi bagian dari Imperium Britania. Wilayah Seberang Laut Britania
ditandai dengan garis bawah merah.
|
Imperium
Britania (bahasa
Inggris: British Empire) adalah suatu imperium
kekuasaan yang terdiri dari wilayah-wilayah koloni, protektorat,
mandat, domini dan wilayah lain yang pernah diperintah atau dikuasai oleh Britania
Raya. Imperium Britania dimulai pada akhir abad ke-16 sejalan dengan
berkembangnya kekuatan Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan merupakan imperium yang paling luas dalam sejarah
dunia serta pada suatu periode tertentu pernah menjadi kekuatan utama di dunia.
Pada tahun 1922, Imperium Britania mencakup populasi sekitar 458 juta orang,
kurang lebih seperlima populasi dunia pada waktu itu, yang membentang seluas
lebih dari 33.700.000 km² (13,012,000 mil²),
atau sekitar seperempat luas total bumi. Akibatnya, pengaruh Britania, terutama
Inggris, melekat kuat di seantero dunia: dalam praktik ekonomi, hukum dan sistem pemerintahan, masyarakat,
olahraga
(seperti kriket
dan sepak
bola), serta penggunaan bahasa
Inggris. Imperium Britania pada suatu masa pernah dijuluki sebagai
"kerajaan tempat matahari tak pernah tenggelam" karena wilayahnya
membentang sepanjang bola dunia dan dengan demikian matahari selalu bersinar,
paling tidak di salah satu dari begitu banyak koloninya.
Selama
Zaman Penjelajahan pada abad ke-15 dan 16, Portugal dan Spanyol
memelopori penjelajahan maritim Eropa ke berbagai belahan dunia sekaligus mendirikan wilayah
koloni. Iri melihat keberhasilan dan kejayaan yang mereka peroleh, Inggris, Perancis dan Belanda mulai
membentuk koloni dan jaringan perdagangan mereka sendiri di Amerika dan Asia. Serangkaian
kemenangan dalam peperangan pada abad ke-17 dan 18 dengan Perancis dan Belanda
membuat Inggris (kemudian bernama Britania Raya setelah bersatu dengan Skotlandia
pada tahun 1707) memperoleh wilayah-wilayah koloni yang dominan di India dan Amerika
Utara. Lepasnya Tiga Belas Koloni Inggris di Amerika Utara pada
tahun 1787 setelah perang kemerdekaan membuat Inggris
kehilangan wilayah koloninya yang paling tua dan paling padat penduduknya.
Lepasnya
Amerika Utara membuat perhatian Inggris beralih ke wilayah-wilayah koloni di Afrika, Asia dan Pasifik. Setelah
kekalahan Napoleon Perancis pada tahun 1815, Inggris
berkesempatan untuk memperluas imperiumnya ke seantero dunia dan menjadi negara
imperialis
paling berjaya dan tak tertandingi pada waktu itu. Beberapa wilayah koloninya
dijadikan sebagai koloni imigran kulit putih
dan beberapa di antaranya dijadikan sebagai wilayah domini.
Kebangkitan
Jerman dan Amerika
Serikat pada akhir abad ke-19 turut menyebabkan pudarnya kejayaan Inggris.
Ketegangan militer dan ekonomi antara Inggris dan Jerman adalah penyebab utama Perang
Dunia I, ketika Inggris sangat bergantung pada imperiumnya. Perang tersebut
telah menyebabkan hancurnya sistem keuangan Inggris dan walaupun Inggris masih
merupakan negara dengan wilayah jajahan terluas setelah Perang Dunia I, Inggris
tidak lagi menjadi pemimpin perekonomian dan militer di dunia. Perang
Dunia II menyebabkan sebagian besar koloni Inggris di Asia
Tenggara diduduki oleh Jepang. Meskipun pada akhirnya Inggris dan Sekutu berhasil
memenangkan Perang Dunia II, perang ini turut berdampak pada semakin sempitnya
wilayah imperium Inggris. Dua tahun setelah perang berakhir, India - koloni
Inggris yang paling berharga - memperoleh kemerdekaannya.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, sebagai akibat dari gerakan dekolonisasi
negara-negara terjajah, Inggris memberi kemerdekaan pada sebagian besar
koloninya. Proses dekolonisasi ini berakhir dengan diserahkannya Hong Kong
ke tangan Republik Rakyat Cina pada tahun 1997. Empat
belas koloni Inggris yang masih tersisa (disebut dengan Wilayah Seberang Laut Britania)
tetap berada di bawah kedaulatan Britania Raya. Setelah kemerdekaan, banyak
bekas koloni Inggris yang bergabung dengan Negara-Negara Persemakmuran, yaitu
suatu persatuan secara sukarela yang melibatkan negara-negara berdaulat yang
didirikan atau pernah dijajah oleh Inggris. Enam belas anggota Persemakmuran mengakui Ratu
Elizabeth II sebagai Ketua Persemakmuran sekaligus kepala negara.
Awal (1497–1583)
Patung John Cabot
di Newfoundland,
koloni seberang lautan pertama Inggris.
Ide
mengenai penjelajahan seberang lautan (dalam pengertian eksplorasi lautan di
luar Eropa dan Kepulauan Britania) sudah dicetuskan saat
Inggris dan Skotlandia
masih merupakan suatu pemerintahan yang terpisah. Pada tahun 1496, Henry VII dari Inggris ingin mengikuti
keberhasilan Spanyol dan Portugis (Portugal) dalam penjelajahan seberang
lautan. Ia kemudian menugaskan John Cabot memimpin pelayaran untuk menemukan rute
menuju Asia melalui Samudera
Atlantik Utara. Cabot
mulai berlayar pada tahun 1497; lima tahun setelah penemuan benua Amerika oleh Columbus. Meskipun pada akhirnya ia berhasil
berlabuh di pantai Newfoundland, ia mengira kalau ia sudah mencapai Asia
dan pada akhirnya tidak berhasil mendirikan koloni. Cabot memimpin pelayaran
lain ke Amerika pada tahun berikutnya namun tidak diketahui lagi kabarnya.
Tidak
ada upaya lebih lanjut untuk mendirikan koloni Inggris di Amerika hingga
memasuki masa pemerintahan Elizabeth I pada dekade terakhir abad ke-16. Adanya gerakan
Reformasi Protestan
telah membuat Inggris bermusuhan dengan Katolik Spanyol.
Pada tahun 1562, Kerajaan Inggris memerintahkan navigator John Hawkins dan Francis
Drake untuk menyerang kapal-kapal Spanyol dan Portugis yang melintas di
lepas pantai Afrika Barat dengan tujuan untuk melumpuhkan sistem
perdagangan di Atlantik. Upaya ini tidak berhasil dan kemudian, saat Perang
Inggris-Spanyol terjadi, Elizabeth I memerintahkan penyerangan terhadap
pelabuhan Spanyol di Amerika dan kapal-kapal Spanyol yang melintasi Atlantik
serta membajak kapal-kapal Spanyol yang sarat dengan harta dari Dunia Baru.
Pada saat yang sama, penulis yang berpengaruh seperti Richard Hakluyt dan John
Dee (yang pertama kali menggunakan istilah Imperium Britania) mulai menekan
kerajaan agar segera memulai penjelajahan seberang lautan. Pada saat itu,
Spanyol telah menguasai Amerika, Portugis telah mendirikan pos perdagangan dan
benteng di pantai Afrika, Brazil dan Cina, sedangkan Perancis sudah mencapai Sungai Saint Lawrence dan kemudian mendirikan
koloni Perancis Baru.
Kolonisasi Irlandia
Meskipun
Inggris jauh tertinggal di belakang negara-negara Eropa lainnya dalam membangun
koloni seberang lautan, Inggris telah berhasil menguasai Irlandia pada
abad ke-16. Beberapa orang yang berperan dalam kolonisasi Irlandia ini selanjutnya juga
berperan dalam proses kolonisasi awal di Amerika
Utara, kelompok ini selanjutnya dikenal sebagai "para lelaki dari
barat".
Imperium Britania pertama (1583–1783)
Pada
tahun 1578, Ratu Elizabeth I memerintahkan Humphrey Gilbert untuk
memulai penjelajahan seberang lautan. Gilbert kemudian berlayar menuju Hindia
Barat dengan tujuan untuk membajak kapal-kapal Spanyol dan memulai
kolonisasi di Amerika Utara. Namun, ekspedisi ini dihentikan sebelum mencapai Samudera
Atlantik. Pada tahun 1583, Gilbert melakukan pelayaran kedua. Dalam
pelayaran itu, ia berhasil mencapai Newfoundland
dan mengklaim wilayah itu sebagai koloni Inggris pertama, meskipun pada saat
itu pulau itu tidak berpenghuni. Gilbert tidak berhasil kembali ke Inggris,
kemudian ia digantikan oleh saudara tirinya, Walter Raleigh, yang diberi mandat
oleh Ratu Elizabeth I pada tahun 1584. Raleigh berhasil membangun koloni di
Roanoke (sekarang North Carolina), namun kurangnya persediaan makanan
menyebabkan upaya untuk membangun koloni lebih lanjut gagal dilakukan.
Tahun
1603, Raja James VI dari Skotlandia naik tahta
menjadi raja Inggris dan mengesahkan Traktat
London tahun 1604 yang mengakhiri permusuhan dengan Spanyol. Setelah
berdamai dengan saingan utamanya, upaya Inggris terfokus untuk mengambil alih
wilayah-wilayah koloni negara lain dan membangun koloni seberang lautan
sendiri. Imperium Britania mulai terbentuk pada awal abad ke-17, yang mencakup
wilayah-wilayah di Amerika Utara dan pulau-pulau kecil di Karibia serta
membentuk kongsi dagang bernama East India Company (EIC) untuk mengelola dan
mengendalikan perdagangan di wilayah koloni Inggris. Periode ini hingga
terjadinya Perang Kemerdekaan Amerika Serikat
yang menyebabkan lepasnya Tiga
Belas Koloni Inggris di akhir abad ke-18 disebut sebagai "Imperium
Britania pertama".
Amerika, Afrika dan perdagangan budak
Pada
awalnya, Karibia
merupakan koloni Inggris yang paling penting dan menguntungkan, namun itu
sebelum upaya kolonisasi di beberapa wilayah mengalami kegagalan. Kolonisasi
di Guyana pada
tahun 1604 hanya berlangsung dua tahun, dan gagal mencapai tujuan utamanya
untuk menemukan tambang emas. Upaya kolonisasi di St. Lucia
(1605) dan Grenada
(1609) juga tidak berhasil. Namun tidak semua upaya gagal, koloni Inggris di
St. Kitts (1624), Barbados (1627) dan Nevis (1628) berhasil dibentuk. Inggris
mengadopsi sistem kolonisasi negara-negara lain kemudian menerapkannya di
wilayah-wilayah koloninya. Sistem yang diadopsi itu antara lain upaya Portugis dalam
mengembangkan perkebunan gula di Brazil yang bergantung pada tenaga budak serta kebijakan
Belanda dalam
penjualan budak dan hasil penjualannya selanjutnya dibelikan gula. Untuk
memastikan kalau keuntungan tetap di tangan Inggris, Parlemen
Inggris pada tahun 1651 memutuskan hanya kapal-kapal Inggris yang boleh
melakukan perdagangan di wilayah-wilayah koloninya dan perdagangan dikuasai
oleh EIC. Keputusan ini menyebabkan permusuhan dengan Belanda yang membangun
koloni di bagian timur, kebijakan ini pada akhirnya semakin memperkuat posisi
Inggris di Amerika meskipun hal ini merugikan Belanda. Pada tahun 1655, Inggris
mencaplok Jamaika
dari Spanyol
dan pada tahun 1666 berhasil menduduki Bahama.
Peta wilayah koloni Inggris di Amerika
Utara periode 1763–1776.
Permukiman
permanen pertama para imigran dari Inggris di Amerika didirikan tahun 1607 di Jamestown, Virginia yang dipimpin oleh Kapten John Smith dan dikelola oleh
perusahaan Inggris bernama Virginia Company. Bermuda dihuni
dan diklaim oleh Inggris setelah adanya kapal dagang yang tenggelam di perairan
Bermuda yang menggunakan bendera Inggris pada tahun 1609, kemudian pada tahun
1615, pengelolaan Bermuda diserahkan pada perusahaan Inggris yang baru, Somers
Isles Company. Hak Virginia Company dicabut pada tahun 1624 dan pengelolaan Virginia
diberikan kepada kerajaan, yang selanjutnya mendirikan Koloni Virginia. Newfoundland Company didirikan pada tahun 1610 dengan tujuan untuk
menciptakan sebuah permukiman permanen di Newfoundland,
namun tidak berhasil. Pada tahun 1620, Inggris membentuk Koloni Plymouth sebagai tempat pembuangan
bagi kelompok separatis Protestan di Inggris. Berikutnya, Inggris mulai membangun koloni-koloni berdasarkan penganut agama.
Tahun 1634, Maryland
didirikan sebagai permukiman bagi orang-orang yang menganut Katolik
Roma, Rhode Island (1636) didirikan sebagai koloni yang
toleran terhadap semua agama dan Connecticut
(1639) bagi para penganut Congregationalists. Sedangkan Carolina
didirikan pada tahun 1663. Tahun 1664, Inggris menukar Suriname di Amerika
Selatan dengan Fort Amsterdam kepada Belanda. Penukaran ini membuat Inggris
menguasai koloni Belanda di Belanda-Baru (sekarang New York). Kemudian, pada tahun 1681, Koloni Pennsylvania
didirikan oleh William Penn. Secara umum, koloni-koloni di Amerika kurang
sukses secara finansial dibandingkan dengan koloni Inggris di Karibia, namun
koloni-koloni di Amerika mempunyai iklim yang sama dengan Eropa serta lahan
pertanian yang luas dan subur, hal ini membuat para imigran Inggris lebih suka
menetap di Amerika dibanding koloni-koloni lainnya.
Budak dari Afrika yang dipekerjakan di
gudang tembakau di Virginia pada abad ke-17.
Pada
tahun 1670, Raja Charles II memberikan mandat kepada Hudson's
Bay Company untuk memonopoli perdagangan
bulu di wilayah bagian utara yang dinamakan Dataran Rupert - hamparan luas
wilayah yang nantinya akan membentuk sebagian besar Kanada. Benteng dan
pos perdagangan didirikan di sana, namun sering diserang oleh Perancis, yang
juga melakukan perdagangan bulu di Perancis
Baru yang lokasinya berdekatan dengan Dataran Rupert.
Dua
tahun kemudian, Royal African Company ditugaskan oleh Raja Charles II
untuk memonopoli pemasokan budak dari koloni Inggris di Karibia. Sejak awal, perbudakan sudah menjadi dasar dari Imperium Britania di Hindia
Barat. Sampai adanya kebijakan penghapusan perdagangan budak pada tahun
1807, Inggris bertanggung jawab atas perpindahan sekitar 3,5 juta budak Afrika
ke Amerika. Sepertiga dari keseluruhan budak tersebut diangkut melintasi
Samudera Atlantik. Untuk memfasilitasi perdagangan ini, benteng dan pos-pos pengawasan didirikan
di pantai Afrika Barat seperti Pulau James, Accra dan Pulau
Bunce. Di Karibia, persentase penduduk keturunan Afrika meningkat dari 25
persen pada tahun 1650 menjadi sekitar 80 persen pada tahun 1780. Sedangkan di Tiga
Belas Koloni meningkat dari 10 persen menjadi 40 persen pada periode yang
sama (sebagian besar di koloni-koloni selatan). Perdagangan budak telah menghasilkan keuntungan yang besar bagi Inggris dan
menjadi andalan perekonomian bagi kota-kota di Inggris seperti Bristol dan Liverpool;
yang kemudian membentuk suatu jalur perdagangan segitiga dengan Afrika dan
Amerika. Kondisi kapal yang tidak higienis dalam proses pengangkutan budak
serta pekerjaan yang keras dan jam kerja yang panjang mengakibatkan tingkat
kematian budak sangat tinggi, rata-rata satu dari tujuh budak meninggal selama
pengangkutan maupun selama bekerja.
Pada
tahun 1695, Parlemen Skotlandia memberikan mandat kepada Company of Scotland
untuk mengkolonisasi Tanah Genting Panama. Namun proses kolonisasi
ini tidak berhasil. Penjelajah Skotlandia dikepung oleh kolonis Spanyol di Granada dan
terserang wabah malaria.
Akibatnya, koloni ini ditinggalkan dua tahun kemudian. Kegagalan Skotlandia
dalam pengkolonisasian Tanah Genting Panama ini (yang dikenal dengan sebutan Bencana
Darien) menyebabkan keruntuhan perekonomian Skotlandia sekaligus mengakhiri
harapan Skotlandia untuk membentuk imperium seberang lautan sendiri. Peristiwa ini juga memiliki konsekuensi politik yang besar, membuat Pemerintah
Inggris dan Pemerintah Skotlandia berunding mengenai penyatuan kedua negara.
Hal ini terjadi pada tahun 1707 dengan disahkannya Perjanjian Kesatuan
pembentukan Kerajaan Britania Raya.
Persaingan dengan Belanda di Asia
Fort St. George yang didirikan di Madras pada tahun
1639.
Pada
akhir abad ke-16, Inggris dan Belanda mulai menentang monopoli Portugis
terhadap perdagangan di Asia dengan bekerjasama membentuk kongsi dagang
gabungan antara East India Company (EIC) milik Inggris
dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) milik Belanda pada tahun 1602. Tujuan utama dari kongsi-kongsi dagang
tersebut adalah untuk menguasai pasar perdagangan rempah-rempah yang
menguntungkan, terutama di kawasan Kepulauan
Hindia Timur serta wilayah sentral jaringan perdagangan di Asia; India.
Pada akhirnya, Inggris dan Belanda justru saling bersaing memperebutkan
supremasi perdagangan di Asia dari Portugis. Meskipun Inggris pada akhirnya bisa mengimbangi posisi Belanda sebagai kekuatan
kolonial, dalam waktu singkat sistem keuangan Belanda melesat lebih maju
dibandingkan dengan Inggris. Serangkaian peperangan antara Belanda dengan Inggris pada abad ke-17 turut
memperpanas persaingan mereka di Asia. Permusuhan antara kedua negara ini baru
berhenti setelah meletusnya Revolusi Agung pada tahun
1688, yaitu saat William III dari Oranye naik tahta menjadi
raja Inggris dan mengesahkan kesepakatan damai antara Inggris dan Belanda.
Kesepakatan itu menyatakan kalau Belanda berhak menguasai perdagangan
rempah-rempah di Hindia Timur, sedangkan Inggris mendapatkan industri
tekstil di India.
Meskipun demikian, industri tekstil perlahan-lahan mulai menyalip perdagangan
rempah-rempah Belanda dalam hal keuntungan dan penjualan. Kemudian, pada tahun
1720, kejayaan ekonomi Belanda berhasil disusul oleh Inggris.
Persaingan dengan Perancis
Perdamaian
antara Inggris dan Belanda pada tahun 1688 menandakan bahwa kedua negara
tersebut akan memasuki Perang Sembilan Tahun sebagai sekutu. Namun
perang tersebut membuat Belanda harus mencurahkan sebagian besar dari anggaran
militer mereka untuk kepentingan perang, hal ini pada akhirnya membuat
kekuasaan kolonial Inggris lebih kuat dari Belanda.Pada abad ke-18, Inggris (kemudian menjadi Britania Raya setelah bersatu dengan
Skotlandia
pada tahun 1707) berjaya sebagai kekuatan kolonial paling dominan di dunia, dan
hanya Perancis yang menjadi saingan utamanya di ranah imperialisme.
Kekalahan Perancis dalam Pertempuran Quebec
pada tahun 1759.
Setelah
kematian Charles II dari Spanyol pada tahun 1700, tahta Spanyol beserta
wilayah-wilayah koloninya jatuh ke tangan Philippe dari Anjou, cucu dari Louis XIV dari Perancis. Philippe kemudian
mencetuskan ide mengenai prospek penyatuan Spanyol dan Perancis beserta wilayah
koloninya masing-masing untuk membentuk suatu aliansi kolonial yang akan
mengalahkan Inggris dan tak tertandingi di Eropa. Pada tahun 1701, Inggris, Portugis dan Belanda bergabung dengan Kekaisaran Romawi Suci untuk melawan Spanyol
dan Perancis dalam Perang Suksesi Spanyol. Perang ini berakhir
pada tahun 1713 dengan disahkannya Perjanjian Utrecht, yang menyatakan bahwa Kerajaan Spanyol-Perancis dibagi-bagi dan Inggris
mendapatkan bagian terbesar: dari Perancis, Inggris mendapatkan Newfoundland
dan Acadia, sedangkan dari Spanyol, Inggris mendapatkan Gibraltar dan
Menorca.
Gibraltar (yang saat ini masih dimiliki oleh Inggris) dijadikan sebagai
pangkalan angkatan laut penting dan memungkinkan Inggris untuk
mengontrol jalur perdagangan Atlantik dari dan ke Mediterania.
Menorca
dikembalikan kepada Spanyol dalam Perjanjian Amiens pada tahun 1802 setelah
dipindah-tangankan sebanyak tiga kali. Spanyol juga menyetujui untuk memberikan
hak Asiento, yaitu hak untuk menjual budak-budak di Spanyol-Amerika
kepada Inggris.
Perang Tujuh Tahun yang meletus pada
tahun 1756 menjadi perang pertama yang berlangsung dalam skala global. Perang
ini berlangsung di Eropa,
India, Amerika
Utara, Karibia,
Filipina dan
pesisir Afrika. Penandatanganan Perjanjian Paris 1763
yang menandai berakhirnya perang ini memiliki konsekuensi penting terhadap masa
depan Imperium Britania. Di Amerika Utara, kejayaan Perancis berakhir seiring
dengan diserahkannya Dataran Rupert (Kanada) kepada Inggris. Perancis juga harus merelakan Perancis
Baru jatuh ke tangan Inggris (meninggalkan sebagian besar penduduk
berbahasa Perancis yang berada di bawah kendali Inggris). Sedangkan Spanyol
menyerahkan Florida
dan Louisiana
ke tangan Inggris. Di India, setelah Perang Carnatic, Perancis memang masih
menguasai India-Perancis,
namun dengan adanya pembatasan militer dan kewajiban untuk mendukung
wilayah-wilayah koloni Inggris, harapan Perancis untuk menguasai India pun
berakhir. Kemenangan Inggris atas Perancis dalam Perang Tujuh Tahun menjadikan Inggris
sebagai kekuatan maritim paling kuat di dunia pada saat itu.
Imperium Britania kedua (1783–1815)
Kemenangan Robert Clive dalam Pertempuran Plassey.
Penguasaan India
Selama
abad pertama pengoperasiannnya, British East India Company (EIC)
cuma terfokus pada perdagangan di India, sama sekali tidak terpikir untuk menantang Kesultanan
Mughal, yang memberi izin berdagang pada tahun 1617 karena posisi serta
kekuasaannya di India lebih kuat dari Inggris. Namun hal ini berubah pada abad ke-18. Ketika Kesultanan Mughal membatasi
hak-hak EIC, Inggris dengan EIC nya berjuang menjatuhkan Kekaisaran Mughal -
yang dibantu oleh Perancis - dalam Perang Carnatic pada periode 1740-an dan
1750-an. Dalam Pertempuran Plassey tahun 1757, Inggris yang
dipimpin oleh Robert Clive berhasil menaklukkan Mughal beserta sekutu
Perancisnya. Kemenangan ini menjadikan Inggris sebagai penguasa serta kekuatan
militer dan politik terbesar di India. Selama dekade
berikutnya, Inggris secara bertahap sukses memperluas wilayah teritori yang
berada di bawah kekuasaannya di India, baik dengan menguasainya secara langsung
ataupun melalui penguasa lokal yang berada di bawah ancaman kekuatan tentara
Inggris di India. Kemaharajaan Britania (sebutan untuk
Inggris-India) akhirnya tumbuh menjadi harta yang paling berharga bagi Imperium
Britania, dijuluki "permata dalam mahkota", mencakup wilayah yang
lebih besar dari Kekaisaran Romawi, India menjadi koloni yang
paling penting bagi kekuatan Inggris, sekaligus membantu mendefinisikan
statusnya sebagai imperium terbesar di dunia.
Lepasnya Tiga Belas Koloni
Selama
periode 1760-an dan 1770-an, hubungan antara Tiga
Belas Koloni dan Inggris menjadi semakin tegang, terutama karena
Undang-Undang Stempel 1765 yang dikeluarkan oleh Parlemen Inggris yang tidak
konstitusional. Parlemen Inggris menegaskan bahwa mereka punya hak untuk
memberlakukan pajak pada para kolonis. Kolonis mengklaim bahwa karena mereka penduduk Inggris, perpajakan tanpa
perwakilan rakyat dianggap ilegal. Kolonis di Tiga Belas Koloni membentuk Kongres
Kontinental yang bersatu dan pemerintahan bayangan di setiap koloni serta
menyerukan istilah "tolak pajak tanpa perwakilan rakyat".
Pemboikotan kolonis terhadap teh Inggris yang terkena pajak mendorong
terjadinya peristiwa Pesta Teh Boston pada tahun 1773. Perselisihan
demi perselisihan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya Revolusi Amerika
dan pecahnya Perang Revolusi pada tahun 1775.
Tahun berikutnya, koloni menyatakan kemerdekaan atas Inggris dan dengan bantuan
dari Perancis, Tiga Belas Koloni akhirnya berhasil memenangkan perang pada
tahun 1783 dan kemudian mendirikan Amerika
Serikat.
Tewasnya Jenderal Mercer dalam Pertempuran
Princeton oleh John
Trumbull. Lepasnya Tiga Belas Koloni di Amerika Utara menandai
berakhirnya Imperium Britania pertama.
Lepasnya
koloni-koloni Inggris yang paling padat penduduknya di Amerika Utara oleh para sejarawan
didefenisikan sebagai masa peralihan dari "Imperium Britania pertama"
ke "Imperium Britania kedua". Sejak itu, Inggris mengalihkan perhatiannya pada koloni-koloninya yang tersebar
di Asia, Pasifik dan Afrika. Tahun 1776, Adam Smith
lewat bukunya yang berjudul The
Wealth of Nations menyatakan kritik terhadap merkantilisme.
Menurut Smith, ekonomi pasar merupakan sumber utama kemajuan, kerja sama, dan
kesejahteraan, sementara campur tangan politik dan peraturan pemerintah
merupakan hal yang tidak ekonomis, kemunduran, dan dapat menyebabkan konflik. Pertumbuhan perdagangan antara Amerika Serikat sebagai negara yang baru merdeka
dengan Inggris sebagai negara tua sejak tahun 1783 membuktikan teori Smith
bahwa kontrol politik tidak diperlukan untuk keberhasilan ekonomi. Ketegangan antara kedua negara ini meningkat selama berlangsungnya Perang Napoleon. Inggris berusaha untuk
memutuskan hubungan dagang antara Amerika Serikat dengan Perancis. Pada tahun
1812, Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Inggris, dan kedua negara
tersebut saling menyerbu. Namun demikian, konflik lebih lanjut di antara kedua
negara itu berhasil dicegah dengan disahkannya Perjanjian Ghent pada
tahun 1815.
Serangkaian
peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat turut mempengaruhi kebijakan
Inggris di Kanada. Sekitar 40.000 hingga 100.000 Loyalis yang telah kalah bermigrasi ke
Kanada setelah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat. Kurang lebih 14.000 Loyalis menetap di sepanjang sungai Saint John dan Saint
Croix (sekarang bagian dari Nova Scotia). Namun mereka menganggap kalau lokasinya
terlalu jauh dari pusat pemerintahan provinsi di Halifax. Oleh sebab itu,
Inggris kemudian memekarkan New Brunswick menjadi satu koloni terpisah pada tahun
1784. Undang-Undang Konstitusi tahun 1791 disahkan untuk membagi Kanada jadi dua
bagian, yaitu Provinsi Kanada Atas (untuk penduduk berbahasa
Inggris) dan Kanada Bawah (untuk penduduk berbahasa
Perancis) dengan tujuan untuk meredakan ketegangan antara komunitas
Perancis dan komunitas Inggris di Kanada. Sistem pemerintahan yang diterapkan di Kanada
harus berpedoman pada Britania Raya untuk menegaskan otoritas imperialisnya dan
segala jenis kontrol pemerintahan yang dianggap sebagai penyebab Revolusi
Amerika tidak diijinkan.
Penjelajahan Pasifik
James Cook,
penjelajah Inggris yang menemukan pantai timur di benua selatan baru bernama Australia.
Sejak
tahun 1718, pembuangan orang-orang Inggris ke koloni-koloni di Amerika Utara
telah menjadi suatu bentuk hukuman bagi berbagai tindak pidana di Inggris.
Ribuan orang buangan diangkut setiap tahunnya melewati Atlantik.[65]
Namun setelah lepasnya Tiga Belas Koloni pada tahun 1783, Inggris dipaksa untuk
mencari lokasi alternatif sebagai tempat pembuangan baru bagi orang-orang
tahanan. Kemudian, Inggris berpaling ke daratan di selatan yang baru ditemukan
bernama Australia.[66]
Pantai barat Australia sebenarnya telah ditemukan oleh seorang penjelajah Belanda bernama Willem
Janszoon pada tahun 1606 yang kemudian dinamakannya Belanda Baru, namun
tidak ada usaha lebih lanjut untuk membangun koloni di sana sampai pada tahun
1770, James
Cook menemukan pantai timur Australia dalam perjalanannya menuju Samudera
Pasifik Selatan. Cook mengklaim benua tersebut atas nama Inggris dan
menamakannya New South Wales.[67]
Pada tahun 1778, Joseph Banks, seorang ahli botani
yang ikut serta dalam pelayaran bersama Cook memberi saran kepada Pemerintah
Inggris supaya Australia dijadikan sebagai koloni
tahanan yang baru. Selanjutnya, pada tahun 1787, pengiriman perdana para
tahanan dari Inggris dilakukan dan sampai di New South Wales pada tahun 1788.[68]
Inggris terus mengirim para tahanan ke New South Wales hingga tahun 1840.[69]
Seiring perkembangannya, koloni Australia akhirnya menjadi koloni yang sangat
menguntungkan, terutama karena produksi wol dan tambang emasnya,[70]
yang turut didukung oleh adanya "demam emas" yang sedang berlangsung
di koloni-koloni Victoria. Hal ini menjadikan Melbourne
sebagai kota terkaya di dunia pada saat itu,[71]
sekaligus kota terbesar kedua (setelah London) dalam
Imperium Britania.[72]
Dalam
perjalanannya, Cook juga mengunjungi Selandia
Baru, yang ditemukan pertama kali pada tahun 1642 oleh penjelajah Belanda
bernama Abel
Tasman. Cook kemudian mengklaim pulau-pulau di Utara
dan di Selatan atas nama Kerajaan
Inggris pada tahun 1769 dan 1770. Awalnya, interaksi antara Suku
Māori; penduduk asli Selandia Baru dengan orang-orang Eropa terbatas hanya
pada transaksi perdagangan. Namun, permukiman bagi orang-orang Eropa makin
diperluas selama dekade awal abad ke-19 dan pos-pos perdagangan banyak
didirikan, terutama di Pulau Utara. Pada tahun 1839, perusahaan Inggris
bernama New Zealand Company menyatakan rencananya untuk membeli lahan
yang luas dan mendirikan koloni di Selandia Baru. Pada tanggal 6 Februari 1840,
William Hobson dan sekitar 40 orang tokoh adat Māori menandatangani Perjanjian Waitangi.[73]
Perjanjian ini dianggap sebagai dokumen awal pendirian negara Selandia Baru,[74]
namun penafsiran terhadap teks perjanjian versi Inggris dan versi Māori amat
berbeda, sehingga tidak ada kesepakatan pada masalah yang telah disetujui dan
terus menerus menjadi sumber sengketa hingga saat ini.[75][76]
Peperangan dengan Napoleon
Pertempuran Waterloo yang berakhir dengan
kekalahan Napoleon.
Inggris
sekali lagi ditantang oleh Perancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte. Namun tidak seperti
perang-perang sebelumnya, perang kali ini lebih merupakan suatu kontes ideologi
antar kedua negara.[77]
Perang ini tidak hanya mengancam posisi Inggris sebagai pemimpin di kancah
imperialisme dunia, namun Napoleon mengancam akan menyerang Inggris sendiri,
seperti yang telah dilakukan oleh pasukannya terhadap negara-negara lainnya di Benua Eropa.[78]
Perang
Napoleon adalah peperangan pertama yang membuat Inggris benar-benar harus
menginvestasikan modal dan sumber daya dalam jumlah besar supaya bisa
memenangkan peperangan. Pelabuhan Perancis berhasil diblokade oleh Angkatan Laut Inggris, yang selanjutnya
menjadi penentu kemenangan Inggris atas armada Perancis-Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar pada tahun 1805. Koloni
seberang lautan Inggris diserang dan diduduki, termasuk pemberian Belanda, yang
dianeksasi oleh Napoleon pada tahun 1810. Perancis akhirnya berhasil dikalahkan
oleh koalisi tentara Eropa pada tahun 1814.[79]
Setelah kekalahan Napoleon, Inggris lagi-lagi memperoleh keuntungan besar dari
hasil perjanjian damai: Perancis menyerahkan Kepulauan Ionia, Malta (yang diduduki
pada tahun 1797 dan 1798), Mauritius, St. Lucia, dan Tobago. Sedangkan
Spanyol menyerahkan Trinidad, Guyana Belanda dan Koloni
Cape. Sementara itu Inggris mengembalikan Guadeloupe,
Martinique,
Guyana Perancis
dan Réunion
kepada Perancis serta Jawa
dan Suriname
kepada Belanda.[80]
Pendudukan Hindia-Belanda
Pada
tahun 1811, tentara Inggris melancarkan serangan terhadap daerah-daerah yang
diduduki oleh Belanda, termasuk Hindia
Timur atau yang lebih dikenal dengan Hindia-Belanda
(sekarang Indonesia).
Pasukan Inggris tidak mengalami kesulitan menghadapi pasukan Belanda. Selain
itu, pasukan Belanda juga mendapat serangan dari pasukan raja-raja di Jawa. Serangan itu
menyebabkan Belanda akhirnya menyerah kepada Inggris.[81]
Oleh sebab itu, sejak tahun 1811 Hindia Timur menjadi jajahan Inggris dengan
kongsi dagang EIC nya yang dipimpin oleh Gubernur-Jenderal
Lord Minto.
Lord Minto kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai pemegang
kekuasaan atas Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal.[82]
Peristiwa
yang terjadi di Eropa selanjutnya turut mempengaruhi kekuasaan Inggris di
Hindia Timur. Napoleon berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Leipzig. Sebagai dampak dari
kekalahan Napoleon itu, pada tahun 1814 Inggris harus mengembalikan semua
daerah kekuasaan Belanda yang pernah dikuasainya melalui Perjanjian
London. Raffles tidak setuju atas keputusan-keputusan itu.[83]
Ia meletakkan jabatannya dan kemudian digantikan oleh Letnan Gubernur Jenderal John
Fendall. Pada tahun 1816, Fendall menyerahkan Hindia Timur kembali kepada
Belanda.[84]
Penghapusan sistem perbudakan
Di
bawah tekanan yang meningkat dari gerakan abolisionisme,
Pemerintah Inggris mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak pada tahun 1807
yang menghapuskan perdagangan budak di Imperium Britania. Pada tahun 1808, Sierra
Leone ditetapkan sebagai koloni Inggris pertama yang secara resmi
membebaskan semua budak.[85]
Undang-Undang Penghapusan Perbudakan disahkan pada tahun 1833 dan tanggal 1
Agustus 1834, sistem perbudakan secara resmi dihapuskan di segenap koloni
Inggris di seluruh dunia (kecuali St. Helena,
Ceylon dan koloni
yang dikelola oleh EIC, meskipun pada akhirnya pengecualian ini dicabut).
Menurut Undang-Undang Penghapusan Perbudakan, para budak diberi kebebasan dan emansipasi
penuh setelah "magang" selama 4 sampai 6 tahun.[86]
Era keemasan Imperium Britania (1815–1914)
Lihat pula: Revolusi
Industri
Imperium Britania pada tahun 1897 ditandai
dengan warna merah muda, warna tradisional kekuasaan Imperium Britania pada
peta.
Penghancuran kapal perang Cina dalam Perang Candu Pertama oleh E. Duncan.
Periode
antara tahun 1815 sampai 1914 disebut oleh beberapa sejarawan
sebagai "era keemasan Imperium Britania",[87][88]
ketika lebih dari 10.000.000 mil² (26,000,000 km²)
luas wilayah dan sekitar 400 juta penduduk menjadi bagian dari Imperium
Britania.[89]
Kekalahan Napoleon pada tahun 1815 membuat Inggris tidak
memiliki saingan yang berarti, kecuali Rusia di Asia Tengah.[90]
Menjadi yang tak terkalahkan di lautan, Inggris kemudian menobatkan dirinya
sebagai polisi dunia, yang selanjutnya dikenal sebagai Pax
Britannica.[91]
Bersamaan dengan hak kontrol tidak resmi yang dimilikinya, posisi Inggris yang
dominan dalam perdagangan dunia berarti bahwa secara efektif Inggris bisa
mengendalikan perekonomian dari banyak negara, seperti Cina, Argentina dan
Siam (Thailand).
Kondisi ini oleh para sejarawan disebut sebagai "imperium informal".[92][93]
Era
keemasan Imperium Britania didukung oleh berbagai penemuan teknologi selama
masa Revolusi Industri seperti kapal uap
dan telegraf.
Berbagai teknologi baru yang diciptakan pada paruh kedua abad ke-19
memungkinkan Inggris untuk mengontrol dan mempertahankan kejayaan Imperiumnya.
Pada tahun 1902, koloni-koloni di Imperium Britania bisa saling terhubung berkat
adanya penemuan jaringan kabel telegraf yang bernama "All Red
Line".[94]
East India Company di Asia
Lihat pula: Kemaharajaan Britania, East India Company, dan Perang Candu
Kartun yang
menggambarkan Benjamin Disraeli memberi Ratu
Victoria mahkota baru ketika ia dinobatkan sebagai Maharani India.
East India Company (EIC) atau Perusahaan Hindia Timur secara
tidak langsung telah ikut berperan serta dalam mendukung kejayaan Imperium
Britania di Asia.
Tentara EIC pertama kali bergabung dengan Angkatan Laut Inggris saat terjadinya
Perang Tujuh Tahun, dan kemudian terus bekerjasama dalam berbagai pertempuran
di luar India, di antaranya: pengusiran Napoleon dari Mesir (1799),
pengambilalihan Jawa
dari Belanda (1811), akuisisi Singapura (1819) dan Malaka (1824) serta
pendudukan Birma
(1826).[90]
Berawal
dari basis di India,
sejak tahun 1730 EIC lambat laun mulai melebarkan jalur perdagangannya dengan
merambah perdagangan opium
(candu) dengan Cina.
Perdagangan ini sangat menguntungkan namun ilegal karena dilarang oleh Dinasti
Qing sejak tahun 1729. Perdagangan opium ini membantu mengembalikan
ketidakseimbangan perdagangan Inggris akibat impor teh yang tidak
menghasilkan keuntungan di Cina.[95]
Pada tahun 1839, sekitar 20.000 peti candu Inggris disita oleh Pemerintah Cina,
yang memicu meletusnya Perang Candu Pertama. Cina kalah dalam perang
ini, kemudian berdasarkan hasil Perjanjian Nanjing, Hong Kong
diserahkan kepada Inggris.[96]
Pada
tahun 1857, di India terjadi Pemberontakan Sepoy yang dilakukan oleh
prajurit-prajurit India (sepoy) yang berada di bawah kekuasaan EIC.
Pemberontakan ini berkembang dan meluas menjadi pemberontakan penduduk di
dataran Gangga
hulu dan India Tengah dan berakhir dengan pembubaran EIC serta kekuasaan di
India dijalankan secara langsung oleh Pemerintah Kerajaan
Inggris.[97]
Pemberontakan ini memakan waktu enam bulan sebelum berhasil ditumpas dan
memakan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Setelah pemberontakan usai, Monarki Inggris memegang kendali langsung
atas India, membawa India memasuki periode menjadi Negara Kepangeranan (Princely
States) Inggris atau yang dikenal sebagai Kemaharajaan Britania (British
Raj) dengan seorang gubernur jenderal ditunjuk oleh Pemerintah Inggris
untuk membawahi India dan Ratu Victoria dinobatkan sebagai Maharani India. EIC
dibubarkan pada tahun berikutnya.[98]
India
mengalami serangkaian kegagalan panen serius pada akhir abad ke-19, menyebabkan
bencana kelaparan yang meluas ke seantero negeri dan diperkirakan lebih dari 15
juta orang meninggal akibat kelaparan. EIC telah gagal mengimplementasikan kebijakan
dan kontrol yang terkoordinasi untuk menangani kelaparan selama periode
kekuasaannya. Hal ini berusaha diubah selama masa Kemaharajaan Britania, sebuah komisi khusus
dibentuk untuk mengatasi dan menerapkan kebijakan baru dalam pengentasan
kelaparan, yang memakan waktu hingga awal 1900-an supaya bisa menghasilkan
efek.[99]
Tentara Rusia dan tentara Inggris dalam Perang
Krimea.
Persaingan dengan Rusia
Sepanjang
abad ke-19, Inggris dan Rusia saling bersaing untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang
ditinggalkan olah Utsmaniyah, Persia dan Dinasti
Qing. Persaingan di Eurasia ini oleh Arthur Connolly disebut sebagai Permainan
Besar (The Great Game).[100]
Kekalahan yang diderita oleh Rusia di Persia dan Turki memunculkan
kekhawatiran Inggris akan ambisi imperialis Rusia untuk menguasai Asia Tengah
dan ketakutan akan adanya invasi darat Rusia ke India.[101]
Pada tahun 1839, Inggris mendahului Rusia dengan menginvasi Afghanistan,
yang memicu meletusnya Perang Inggris-Afghanistan, namun perang ini
adalah bencana bagi Inggris.[80]
Saat Rusia menginvasi Balkan pada tahun 1853, kekhawatiran akan adanya dominasi
Rusia di Mediterania
dan Timur
Tengah memicu Inggris dan Perancis untuk menyerang Semenanjung Krimea dan melumpuhkan Angkatan Laut
Rusia.[80]
Peristiwa ini memicu berkobarnya Perang
Krimea yang meletus pada tahun 1854-1856 antara Kekaisaran
Rusia melawan sekutu yang terdiri dari Inggris, Perancis, Kerajaan
Sardinia dan Kesultanan Utsmaniyah. Perang ini dianggap
sebagai perang modern pertama dalam sejarah dunia, baik dari segi teknik maupun
penggunaan senjata,[102]
dan merupakan satu-satunya perang global yang terjadi antara Inggris dengan imperium
lainnya selama masa Pax Britannica. Perang ini berhasil dimenangkan
dengan gemilang oleh Inggris dan sekutunya.[80]
Setelah perang usai, situasi di Asia Tengah tetap tidak terselesaikan selama
dua dekade lebih. Inggris mencaplok Baluchistan
pada tahun 1876 dan Rusia menguasai Kirghizia, Kazakhstan
dan Turkmenistan.
Untuk sementara waktu, perang lain antar kedua negara tersebut memang bisa
dihindari, namun di sisi lain terjadi perebutan supremasi antar kedua belah
pihak di Asia Tengah, terutama dalam penyebaran pengaruh dan ideologi
politiknya masing-masing. Kesepakatan antara Inggris dan Rusia baru benar-benar
bisa tercapai setelah ditetapkannya batas-batas kekuasaan kedua negara dalam
Perjanjian Inggris-Rusia pada tahun 1907.[103]
Lumpuhnya Angkatan Laut Rusia dalam Pertempuran Port Arthur saat terjadinya Perang Rusia-Jepang juga semakin memperbesar
peluang Inggris dalam menguasai Asia.[104]
Dari Cape ke Kairo
Lihat pula: Perebutan
Afrika
Raksasa Rhodes—Cecil
Rhodes "melangkah" dari Cape ke Kairo.
Belanda
sebenarnya telah mendirikan Koloni Cape di ujung selatan Afrika pada tahun
1652 sebagai pos persinggahan bagi kapal-kapalnya yang sedang dalam perjalanan
ke Hindia
Timur. Namun Inggris secara resmi mengakuisisi Koloni Cape pada tahun 1806
- termasuk Bangsa Boer yang berdiam di sana - setelah mendudukinya
pada tahun 1795 untuk mencegah koloni tersebut jatuh ke tangan Perancis yang
pada saat itu berhasil mengalahkan Belanda.[105]
Para imigran Inggris mulai berdatangan sejak tahun 1820. Hal ini memicu
menyingkirnya ribuan Bangsa Boer yang tidak setuju dengan hukum Inggris ke arah
utara dan mendirikan negara republik bebas sendiri (kebanyakan tidak bertahan
lama) pada periode 1830-an sampai awal 1840-an.[106]
Dalam prosesnya, Bangsa Boer berulang kali bentrok dengan tentara Inggris, yang
memiliki agenda sendiri sehubungan dengan ekspansi kolonial di Afrika
Selatan dan menguasai permukiman bangsa-bangsa asli Afrika, termasuk Bangsa
Sotho dan Bangsa Zulu. Pada akhirnya, Bangsa Boer berhasil mendirikan dua
negara republik baru yang memiliki umur lebih lama: Republik Afrika Selatan
atau Republik Transvaal (1852-1877; 1881-1902) dan Negara Bebas Oranye (1854-1902).[107]
Pada tahun 1902 Inggris berhasil menduduki kedua republik tersebut, yang memicu
meletusnya Perang Boer.[108]
Pada
tahun 1869 Terusan Suez yang menghubungkan Laut Tengah
dengan Samudra Hindia dibuka oleh Napoleon III. Pembukaan terusan ini pada
awalnya ditentang oleh Inggris, namun begitu mengetahui nilai strategis dari
terusan ini, Inggris langsung berhasrat untuk menguasainya.[109]
Pada tahun 1875, Pemerintah Konservatif Benjamin
Disraeli membeli 44 persen - sekitar £4 juta (£280 juta pada tahun
2013) - saham penguasa Mesir; Ismail Pasha dalam kepemilikan Terusan Suez. Meskipun
pembelian ini tidak memberikan kontrol langsung atas Terusan Suez, Inggris
secara tidak langsung telah menanamkan pengaruhnya di Mesir. Dengan adanya
kontrol dari Perancis dan Inggris terhadap keuangan Mesir, Mesir pun akhirnya diduduki
penuh oleh Inggris pada tahun 1882.[110]
Perancis yang merupakan pemegang saham mayoritas atas Terusan Suez berupaya
untuk melemahkan posisi Inggris,[111]
namun kedua negara tersebut pada akhirnya berhasil mencapai suatu persetujuan
dengan disahkannya Konvensi Konstantinopel pada tahun 1888 yang memutuskan
bahwa Terusan Suez adalah wilayah netral.[112]
Ketika
aktivitas Perancis,
Belgia dan Portugis di
bagian hulu Sungai Kongo sudah mengancam kedudukan Inggris di
Afrika, Konferensi Berlin diadakan pada tahun 1884 dan
1885 dengan tujuan untuk mengatur persaingan antar bangsa-bangsa Eropa di
Afrika, yang selanjutnya dikenal sebagai “Perebutan
Afrika” (dalam artian pendudukan efektif agar mendapat pengakuan
internasional atas klaim teritorial).[113]
Perebutan ini berlanjut hingga tahun 1890-an, yang menyebabkan Inggris
mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menarik diri dari Sudan pada tahun
1885. Sekompi pasukan gabungan tentara Inggris dan Mesir berhasil mengalahkan
tentara Mahdi pada tahun 1886 dan mencegah usaha Perancis untuk menduduki
Fashoda pada tahun 1898. Setelah itu, Sudan diklaim sebagai
Kondominium Inggris-Mesir, meskipun pada kenyataannya Sudan merupakan koloni
Inggris.[114]
Kemenangan
Inggris di Afrika Timur dan Selatan mendorong Cecil
Rhodes - pelopor ekspansi Inggris ke Afrika - untuk membangun sebuah jalur kereta api
dari Cape
ke Kairo guna
menghubungkan Terusan Suez dengan Afrika bagian selatan yang kaya
dengan mineral.[115]
Pada tahun 1888, Rhodes beserta perusahaannya yang bernama British South
Africa Company mencaplok dan menduduki sebuah wilayah yang kemudian
dinamakan sesuai namanya; Rhodesia.[116]
Perubahan status koloni kulit putih
Sejak
abad ke-18, telah terjadi perbedaan yang nyata antara status koloni Inggris
yang dihuni oleh penduduk berkulit putih dengan koloni yang dihuni oleh penduduk
non-kulit putih. Saat pemikiran "absolutisme tercerahkan" berkembang
di Eropa, Inggris didesak untuk mengubah status koloni-koloni kulit putih agar
mengijinkan mereka membentuk pemerintahan sendiri.[117]
Kelahiran Republik Irlandia oleh Walter Paget.
Langkah
koloni kulit putih untuk memperoleh kemerdekaan dari Imperium Britania dimulai
dengan adanya Laporan Durham pada tahun
1839: dua provinsi di Kanada (Kanada Atas dan Kanada Bawah) diusulkan untuk di-unifikasi
sebagai solusi atas kerusuhan politik yang kerap terjadi di sana.[118]
Unifikasi ini disahkan dalam Undang-Undang Penyatuan pada tahun 1840, yang
kemudian membentuk Provinsi Kanada. Pemerintahan mandiri pertama kali diberikan
pada Nova
Scotia pada tahun 1848, kemudian menyusul koloni-koloni Inggris lainnya di
Amerika utara. Selanjutnya, dengan diberlakukannya Undang-Undang Konstitusi
oleh Parlemen Britania Raya pada tahun 1867,
Kanada Atas, Kanada Bawah, New Brunswick dan Nova Scotia
disatukan menjadi Domini
Kanada, dengan status sebagai Pemerintahan Konfederasi yang menikmati hak
penuh kecuali dalam hal hubungan internasional.[119]
Australia
dan Selandia
Baru juga memperoleh status yang sama setelah tahun 1900. Koloni-koloni di
Australia di unifikasi pada tahun 1901 menjadi Federasi Australia, sedangkan
Selandia Baru menyusul setelahnya dengan status sebagai Pemerintahan Domini.
Istilah Pemerintahan Domini sendiri secara resmi baru diperkenalkan dalam
Konferensi Kolonial pada tahun 1907 di London untuk menegaskan status Kanada,
Australia dan Selandia Baru.[120]
Pada
dekade terakhir abad 19, Inggris dihadapkan pada kampanye politik rakyat Irlandia yang
ingin memisahkan diri dari Britania Raya. Irlandia sendiri telah bergabung
dengan Inggris (dan bersama Skotlandia kemudian membentuk Britania Raya) sejak tahun
1800, setelah meletusnya Pemberontakan Irlandia pada tahun 1798, yang diikuti
dengan bencana kelaparan parah pada periode 1845 sampai 1852. Kemerdekaan
Irlandia ini didukung oleh Perdana Menteri Inggris, William Ewart Gladstone, yang berharap
bahwa Irlandia mungkin bisa mengikuti jejak Kanada sebagai sebuah Pemerintahan
Domini dalam Imperium Britania. Namun Rancangan Undang-Undang (RUU) pembebasan
Irlandia ditolak oleh Parlemen Inggris,[121]
meskipun RUU ini menawarkan otonomi yang lebih sedikit bagi Irlandia ketimbang
Kanada.[121]
Kebanyakan anggota parlemen takut kemerdekaan Irlandia mungkin akan menimbulkan
ancaman keamanan bagi Inggris atau menandai awal pecahnya Imperium Britania.[122]
RUU kemerdekaan kedua juga ditolak dengan alasan yang sama.[122]
RUU ketiga berhasil disahkan oleh parlemen, namun tidak diproses lebih lanjut
karena pecahnya Perang Dunia I.[123]
Sementara itu di Afrika, pada tahun 1910, Koloni Cape, Natal, Republik Transvaal dan Negara Bebas Oranye bergabung menjadi Uni
Afrika Selatan yang juga diberi status domini.[124]
Perang Dunia (1914–1945)
Pada
pergantian abad ke-20, kekhawatiran Inggris bahwa mereka tidak lagi mampu
mempertahankan kejayaan imperiumnya mulai tumbuh. Jerman meningkat
pesat sebagai kekuatan militer dan industri baru di dunia dan tampaknya akan
menjadi lawan yang paling mungkin bagi Inggris dalam perang masa depan.[125]
Sadar bahwa ia kewalahan di Pasifik dan terancam oleh Angkatan Laut Jerman,[126]
Inggris membentuk aliansi dengan Jepang pada tahun 1902, dan musuh lamanya: Perancis dan Rusia
pada tahun 1904 dan 1907.[127]
Perang Dunia I
Pasukan batalyon 6 Australia dalam Pertempuran Kanal St. Quentin pada
tanggal 1 September 1918.
Kekhawatiran
Inggris terhadap peperangan dengan Jerman terbukti dengan pecahnya Perang
Dunia I. Keputusan Inggris untuk melancarkan perang terhadap Jerman dan
sekutunya juga melibatkan wilayah-wilayah koloni dan domininya, yang
menyediakan tenaga militer, dukungan finansial dan material yang tidak
ternilai. Lebih dari 2,5 juta tentara Inggris diambil dari wilayah-wilayah
domininya, serta ribuan sukarelawan yang berasal dari koloni-koloninya.[128]
Sebagian besar koloni seberang lautan Jerman dengan cepat berhasil direbut dan
diduduki. Sementara di Pasifik, Australia dan Selandia Baru berhasil mengambil
alih Nugini
Jerman dan Samoa.
Kontribusi Australia, Newfoundland dan Selandia Baru selama Kampanye Gallipoli melawan Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1915
memiliki dampak besar terhadap semangat kebangsaan dan kecintaan mereka
terhadap tanah air serta berperan penting dalam proses transisi Australia dan
Selandia Baru dari negara koloni menjadi negara yang merdeka. Negara-negara
tersebut terus memperingati peristiwa tewasnya ribuan tentara mereka dalam
perang ini setiap tahunnya. Kanada juga mengalami hal yang sama saat ikut serta
dalam Pertempuran Vimy Ridge pada tahun 1917.[129]
Kontribusi penting dari para domini Inggris diakui oleh Perdana Menteri
Inggris, David Lloyd George. Pada tahun 1917, ia
mengundang semua Perdana Menteri dari wilayah domini Inggris dan
kemudian membentuk Kabinet Perang Imperialis untuk mengkoordinasikan kebijakan
militer di Imperium Britania.[130]
Menurut
ketentuan Perjanjian Versailles pada tahun 1919,
Inggris mendapat jatah terbesar dalam pembagian wilayah sengketa perang.
Sekitar 1.800.000 mil² (4,700,000 km²)
dan 13 juta penduduk baru ditambahkan ke kekuasaan Imperium Britania.[131]
Koloni-koloni Jerman dan Kesultanan Utsmaniyah dibagi-bagikan ke Sekutu sebagaimana
keputusan dari Liga Bangsa-Bangsa. Inggris mendapatkan mandat
atas Palestina,
Transyordania,
Irak, sebagian Kamerun dan Togo, serta Tanganyika.
Wilayah domini Inggris juga mendapat bagian tersendiri: Afrika
Barat Daya (sekarang Namibia) diserahkan kepada Afrika
Selatan, Australia memperoleh Nugini
Jerman, sedangkan Selandia Baru memperoleh Samoa Barat.
Nauru ditetapkan
sebagai milik gabungan antara Inggris dan dua domini Pasifik-nya.[132]
Periode antar-perang
Berbagai
perubahan yang terjadi pasca Perang Dunia I, khususnya pertumbuhan Amerika
Serikat dan Jepang
sebagai kekuatan baru angkatan laut dunia dan munculnya gerakan-gerakan
kemerdekaan di India
dan Irlandia
menyebabkan kebijakan imperial Inggris dikaji ulang.[133]
Inggris harus memilih apakah mau bersekutu dengan Jepang atau Amerika Serikat.
Kemudian Inggris memilih untuk tidak memperpanjang aliansi dengan Jepang dan
dengan disahkannya Perjanjian Laut Washington tahun 1922, Inggris secara resmi
menyetujui persekutuan dengan Angkatan Laut Amerika Serikat.[134]
Keputusan ini menjadi sumber perdebatan di Inggris sepanjang tahun 1930,[135]
pemerintahan militer sudah diberlakukan di Jepang dan Jerman dan didukung oleh
sedang berlangsungnya era Depresi Besar, di khawatirkan Inggris tidak akan
bertahan menghadapi serangan dari kedua negara tersebut.[136]
Meskipun isu keamanan imperiumnya menjadi perhatian serius bagi Inggris, pada
saat yang sama imperium juga sangat penting bagi perekonomian Inggris, terutama
dalam menghadapi perang.[137]
Perang Kemerdekaan Irlandia
Lihat pula: Perang Kemerdekaan Irlandia
Perang
Dunia I menyebabkan pelaksanaan Undang-Undang Kemerdekaan Irlandia tertunda dan
hasilnya, Irlandia
memproklamasikan kemerdekaannya sendiri pada tahun 1919. Sinn Féin, partai
pro-kemerdekaan Irlandia, berhasil memenangkan mayoritas suara dalam Pemilihan
Umum tahun 1918 dan kemudian memproklamasikan kemerdekaan Irlandia. Inggris
tidak mengakuinya dan hal ini memicu meletusnya Perang Kemerdekaan Irlandia. Para
tentara Republik Irlandia secara bersamaan memulai perang gerilya
melawan Pemerintahan Inggris.[138]
Perang ini berakhir pada tahun 1921 dengan jalan buntu dan menghasilkan
Perjanjian Inggris-Irlandia. Dua puluh enam county di Irlandia selatan
kemudian mendirikan Negara Bebas Irlandia, yang selanjutnya ditetapkan sebagai
wilayah domini dalam Imperium Britania, yang berdiri sebagai negara bebas namun
secara konstitusional dan kelembagaan masih merupakan bagian dari Kerajaan Britania Raya.[139]
Sedangkan enam county di Irlandia
Utara memilih untuk tetap menjadi bagian dari Pemerintahan Britania Raya.[140]
Raja George V (depan tengah) bersama
Perdana Menteri Inggris dan para domininya dalam Konferensi Imperial 1926.
Berdiri dari kiri ke kanan : Walter Stanley Monroe (Newfoundland), Gordon
Coates (Selandia Baru), Stanley Bruce (Australia), J. B. M. Hertzog (Uni Afrika
Selatan), W.T. Cosgrave (Negara Bebas Irlandia). Duduk: Stanley Baldwin
(Inggris), Raja George V, William Lyon Mackenzie King (Kanada).
Status koloni di Asia
Perjuangan
kemerdekaan yang sama juga berlangsung di India saat
Undang-Undang Pemerintahan India 1919 gagal dalam memenuhi tuntutan kemerdekaan
rakyat India.[141]
Kekhawatiran terhadap penyebaran komunis dan campur tangan asing dalam Konspirasi Ghadar
menyebabkan disahkannya Undang-Undang Rowlatt.[142]
Hal ini menyebabkan ketegangan, terutama di daerah Punjab, tempat
ketegangan berubah menjadi tragedi berdarah pada tahun 1919 yang dikenal dengan
peristiwa Pembantaian Amritsar. Di Inggris, peristiwa
ini dilihat sebagai tindakan untuk menyelamatkan India dari aksi anarki, namun
banyak juga - termasuk Churchill - yang menganggapnya sebagai tindakan
yang tidak berperikemanusiaan.[142]
Keadaan terus bergejolak hingga bulan Maret 1922 diikuti oleh insiden Chauri Chaura dan terus
berlanjut hingga 25 tahun kedepannya.[143]
Pada tahun 1922, Mesir,
yang telah dinyatakan sebagai wilayah protektorat
Inggris setelah Perang Dunia I diberikan kemerdekaan resmi, namun tetap menjadi
negara satelit Inggris sampai tahun 1954. Tentara Inggris tetap ditempatkan di
Mesir sampai ditandatanganinya Perjanjian Inggris-Mesir pada tahun 1936[144]
yang menyepakati bahwa Inggris akan menarik tentaranya dari Mesir namun Inggris
tetap berhak menduduki dan memiliki Terusan
Suez. Sebagai imbalannya, Mesir dibantu untuk bergabung dengan Liga Bangsa-Bangsa.[145]
Sementara itu, Irak,
wilayah mandat Inggris sejak tahun 1920 yang kaya dengan minyak juga dibantu
menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa setelah diberi kemerdekaan pada tahun 1932.[146]
Kemerdekaan domini
Keinginan
para domini untuk memerdekakan diri dari Inggris ditanggapi dengan diadakannya
Konferensi Imperial 1923.[147]
Permintaan Inggris atas bantuan militer dalam menghadapi Krisis Chanak pada tahun sebelumnya
ditolak oleh Kanada
dan Afrika
Selatan. Kanada juga menolak isi Perjanjian Lausanne tahun 1923.[148][149]
Setelah adanya tekanan dari Selandia Baru dan Afrika
Selatan, Inggris menyelenggarakan Konferensi Imperial 1926 dan mengeluarkan
Deklarasi Balfour, yang menyatakan bahwa
"semua domini merupakan komunitas swatantra dalam Britania Raya, sama
dalam kedudukan, dengan tiadanya yang lebih rendah antara satu dengan lainnya
dalam tiap aspek urusan dalam maupun luar negerinya, meski dipersatukan oleh
kesetiaan umum pada Raja, dan secara bebas terhubung sebagai anggota
negara-negara Persemakmuran Britania".[150]
Deklarasi ini disahkan secara hukum dalam Undang-Undang Westminster 1931.[120]
Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, Negara Bebas Irlandia dan
Newfoundland
akhirnya menjadi negara yang merdeka dan memiliki parlemen yang bebas dari
kontrol legislatif
Inggris. Mereka tidak lagi terikat kepada undang-undang Inggris dan Inggris
tidak boleh mengesahkan undang-undang yang berkaitan dengan negara-negara
tersebut tanpa mendapat persetujuan mereka.[151]
Newfoundland kembali menjadi koloni Inggris pada tahun 1933 akibat kesulitan
keuangan selama masa Depresi Besar.[152]
Sedangkan Irlandia
menjauhkan diri dari Inggris dengan mengesahkan konstitusi baru pada tahun 1937
dan berdiri sebagai negara republik serta berusaha melepaskan diri dari semua
pengaruh Inggris.[153]
Perang Dunia II
Menyerahnya tentara Inggris pada tentara
Jepang dalam Pertempuran Singapura, 1942.
Keputusan
Inggris dalam menyatakan perang terhadap Jerman Nazi pada bulan
September 1939 juga mengikutsertakan seluruh koloninya, namun tidak secara
otomatis menyertakan domininya. Australia, Kanada, Selandia Baru dan Afrika
Selatan memilih untuk menyatakan perang terhadap Jerman, namun Negara Bebas
Irlandia memilih untuk tetap netral secara legal selama perang berlangsung.[154]
Setelah pendudukan Jerman atas Perancis pada tahun
1940, Inggris dan imperiumnya berdiri sendiri dalam melawan Jerman, sampai
masuknya Uni
Soviet ke dalam kancah peperangan pada tahun 1941. Perdana Menteri Inggris, Winston
Churchill berhasil melobi Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt agar mengirimkan
bantuan militer bagi Inggris, namun Roosevelt belum siap melibatkan Amerika
Serikat dalam peperangan.[155]
Pada bulan Agustus 1941, Churchill dan Roosevelt mengadakan perundingan dan
menandatangani Piagam Atlantik, yang menyatakan bahwa "hak
bagi semua bangsa untuk memilih bentuk pemerintahan tempat mereka tinggal harus
dihormati" (hak untuk menentukan nasib sendiri). Namun kata-kata ini
bermakna ambigu, entah yang dimaksudkan itu mengenai penjajahan Jerman atas
Eropa atau penjajahan negara-negara Eropa atas negara-negara lainnya. Pada
akhirnya, kata-kata ini diinterpretasikan secara berbeda oleh Inggris, Amerika
Serikat, dan gerakan nasionalisme negara-negara terjajah.[156][157]
Pada
bulan Desember 1941, Jepang dengan cita-cita Asia Timur Raya-nya
secara berurutan melancarkan serangan terhadap koloni Inggris di Malaya, Hong Kong
dan pangkalan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor. Amerika Serikat pun kemudian
ikut serta dalam peperangan. Reaksi Churchill atas masuknya Amerika Serikat
dalam kancah peperangan adalah bahwa sekarang Inggris yakin akan kemenangan dan
keberlangsungan imperiumnya di masa depan,[158]
namun cara Inggris yang cepat menyerah memberi kesan buruk bagi kedudukan dan
statusnya sebagai penguasa imperial.[159][160]
Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang pada
tahun 1942 adalah kekalahan yang paling memalukan bagi Inggris karena Singapura
dianggap sebagai benteng pertahanan Inggris yang tak tertembus dan setara
dengan Gibraltar
di Mediterania.[161]
Sadar akan posisi Inggris yang tidak mampu lagi mempertahankan imperiumnya,
Australia dan Selandia Baru yang semakin terancam oleh Jepang kemudian menjalin
hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat. Hubungan ini selanjutnya
diwujudkan dengan dikeluarkannya Pakta ANZUS pada tahun 1951 antara Australia, Selandia Baru dan
Amerika Serikat tanpa melibatkan Inggris.[156]
Dekolonisasi dan keruntuhan (1945–1997)
Walaupun
Inggris dan imperiumnya berhasil memenangkan Perang
Dunia II, efek dari konflik yang terjadi mempengaruhi Inggris baik di dalam
maupun luar negeri. Hampir keseluruhan kejayaan negara-negara Eropa - benua
yang mendominasi dunia selama berabad-abad lamanya - berada di ambang keruntuhan,
digantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet
yang tumbuh sebagai kekuatan global baru. Inggris sendiri terpuruk dan
mengalami kebangkrutan, dan baru bisa diselamatkan setelah
mendapat pinjaman sebesar $3,5 miliar dari Amerika Serikat; negara
adidaya baru yang dulu pernah menjadi koloninya.[162]
Pinjaman itu sendiri baru berhasil dilunasi oleh Inggris pada tahun 2006.[163]
Pada
saat yang sama, gerakan anti-kolonial berkembang di negara-negara koloni Eropa.
Situasi ini makin diperumit seiring berlangsungnya Perang
Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada prinsipnya, kedua negara
tersebut sama-sama menentang kolonialisme Eropa, namun pada kenyataannya
sentimen anti-komunis
lebih diutamakan ketimbang anti-imperialis sehingga Amerika Serikat tetap mendukung
keberlangsungan Imperium Britania.[164]
Istilah
"angin perubahan yang berhembus di negara-negara koloni Inggris"
berarti bahwa kejayaan Imperium Britania sudah berada di ambang keruntuhan.
Inggris mulai menggunakan cara aman untuk menghadapi keruntuhannya, yaitu
dengan memberikan kemerdekaan pada satu-persatu negara koloninya jika mereka
sudah stabil serta tidak condong pada paham komunis. Cara ini
berbeda dengan negara-negara Eropa lain seperti Perancis, Belanda dan Portugal, yang
mengobarkan perang berbiaya mahal untuk tetap mempertahankan koloninya namun
pada akhirnya gagal menjaga keutuhan imperium mereka. Antara periode 1945
sampai 1965, jumlah penduduk yang berada di bawah kekuasaan Inggris (di luar
Britania Raya) merosot dari angka 700 juta ke angka 5 juta, dan 3 juta di
antaranya berada di Hong Kong.[165]
Awal kemunduran
Kemerdekaan India
Lihat pula: Gerakan Kemerdekaan India
Muhammad Ali Jinnah dan Mahatma
Gandhi, tokoh pemimpin Gerakan Kemerdekaan India.
Partai Buruh yang pro-dekolonisasi
berhasil memenangkan Pemilihan Umum Inggris 1945. Clement
Attlee, pemimpin Partai Buruh yang terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris
segera bertindak cepat untuk menyelesaikan isu penting negara yaitu kemerdekaan
India.[166]
Dua organisasi pergerakan kemerdekaan India; Kongres Nasional India dan Liga
Muslim India telah mengampanyekan kemerdekaan India berdekade-dekade
lamanya, namun tidak menemui kesepakatan soal bagaimana pelaksanaannya. Kongres
menginginkan India yang bersatu namun Liga menginginkan negara yang terpisah
bagi penduduk Muslim
karena takut akan adanya dominasi oleh mayoritas Hindu. Meningkatnya
kerusuhan sipil dan pemberontakan dari Angkatan Laut India pada tahun 1946
membuat Attlee menjanjikan kemerdekaan bagi India paling lambat tahun 1948.
Namun situasi yang makin mendesak dan ancaman akan adanya perang sipil membuat
Louis Mountbatten; Maharaja India yang baru dilantik (sekaligus yang terakhir)
memproklamirkan kemerdekaan India lebih awal pada tanggal 15 Agustus
1947.[167]
Perbatasan yang dibuat oleh Inggris untuk membagi
India ke dalam kawasan untuk penduduk Hindu dan Islam tidak menghiraukan
nasib berpuluh-puluh juta minoritas di India dan Pakistan.[168]
Akibatnya, jutaan Muslim kemudian menyeberang dari India ke Pakistan dan Hindu
ke arah sebaliknya, dan bentrokan yang terjadi antar dua komunitas tersebut
menyebabkan lebih dari dua ratus ribu nyawa melayang. Srilanka dan Myanmar, yang
merupakan bagian dari Kemaharajaan Britania, memperoleh kemerdekaan
pada tahun 1948. India, Pakistan dan Srilanka selanjutnya bergabung menjadi
anggota Negara-Negara Persemakmuran, namun
Myanmar memilih untuk tidak bergabung.[169]
Status Palestina
Mandat Inggris atas Palestina,
tempat mayoritas Arab tinggal berdampingan bersama minoritas Yahudi juga
menimbulkan masalah yang sama dengan India.[170]
Hal tersebut makin dipersulit dengan sejumlah besar pengungsi Yahudi yang
menginginkan tempat tinggal di Palestina setelah peristiwa Holocaust,
sementara komunitas Arab menentang pembentukan negara Yahudi. Frustrasi atas
kerumitan masalah tersebut dan diserang oleh organisasi paramiliter Yahudi
serta meningkatnya biaya untuk mempertahankan militernya di Palestina, Inggris
mengumumkan pada tahun 1947 untuk menarik diri atas kasus Palestina dan
menyerahkan perkara tersebut pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
diselesaikan.[171]
Majelis
Umum PBB kemudian menyikapinya dengan Rencana Pembagian Palestina menjadi dua
bagian, yaitu negara Arab dan negara Yahudi.[172]
Kemerdekaan Malaya
Setelah
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
kemunculan gerakan perlawanan anti-Jepang di Malaya (Melayu)
mengalihkan perhatian penduduk Malaya dari Inggris, yang dengan cepat merebut
kembali kendali atas koloni Malaya, terutama karena menilai wilayah itu sebagai
sumber karet dan timah.[173]
Fakta bahwa gerakan gerilya yang terjadi di Malaya sebagian besar didukung oleh
komunis Melayu-Tionghoa menandakan bahwa upaya Inggris untuk memadamkan
pemberontakan itu didukung oleh mayoritas Melayu-Muslim, dengan pengertian
bahwa setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan, kemerdekaan Malaya akan
dikabulkan.[173]
Kedaruratan Malaya diberlakukan dari tahun 1948
sampai tahun 1960. Namun pada tahun 1957, Inggris sudah merasa cukup percaya
diri untuk memberikan kemerdekaan pada Federasi
Malaya. Pada tahun 1963, 11 negara bagian Federasi Malaya bersama-sama
dengan Singapura,
Sarawak dan Borneo
Utara bergabung untuk membentuk Malaysia. Namun
pada tahun 1965, Singapura yang didominasi oleh komunitas Tionghoa keluar
dari federasi menyusul ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Brunei, yang
menjadi protektorat
Inggris sejak tahun 1888 menolak untuk bergabung dengan federasi dan
mempertahankan statusnya sampai memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984.[173]
Krisis Suez dan dampaknya
Pada
tahun 1951, Partai Konservatif kembali
berkuasa di Inggris di bawah kepemimpinan Winston
Churchill. Churchill dan Konservatif percaya bahwa posisi Inggris sebagai
kekuatan dunia bergantung pada keberlangsungan imperiumnya, dan hal ini
ditentukan oleh Terusan Suez yang memungkinkan Inggris untuk
mempertahankan posisi unggulnya di Timur
Tengah meskipun sudah kehilangan India. Namun Churchill tidak bisa
meremehkan Pemerintahan
Revolusioner baru bentukan Gamal Abdul Nasser di Mesir yang meraih
kekuasaan pada tahun 1952 dan berusaha mengusir Inggris dari Mesir. Pada tahun
berikutnya, disepakati bahwa pasukan Inggris akan menarik diri dari Terusan
Suez dan nasib Sudan
akan ditentukan pada tahun 1955.[174]
Sudan kemudian diberi kemerdekaan pada tanggal 1 Januari 1956.
Bulan
Juli 1956, Nasser secara sepihak menasionalisasi Terusan Suez. Perdana Menteri
Inggris yang baru, Anthony Eden, menanggapinya dengan membuat kesepakatan
bersama Perancis untuk mengatur serangan dari Israel ke Mesir
yang selanjutnya akan memberi alasan bagi Inggris dan Perancis untuk campur
tangan dan merebut kembali Terusan Suez.[175]
Tindakan Eden yang tidak meminta nasihat dari sekutunya, Amerika Serikat,
menyebabkan Presiden AS, Dwight D. Eisenhower marah dan menolak
mendukung invasi tersebut.[176]
Eisenhower juga mencemaskan kemungkinan perang dengan Uni Soviet
setelah Nikita Khrushchev menyatakan dukungannya pada
Mesir. Eisenhower menerapkan opsi
keuangan dengan mengancam akan menjual cadangan AS dalam poundsterling
dan dengan demikian akan memicu kejatuhan mata uang Inggris. Walaupun invasi
militer tersebut berhasil merebut kembali Terusan Suez,[177]
adanya campur tangan PBB dan tekanan dari Amerika Serikat memaksa Inggris untuk
menarik pasukannya dengan memalukan dari Terusan Suez dan diikuti dengan
pengunduran diri Eden pada tahun 1957.[178][179]
Krisis Suez
ini sangat terpublikasi dan dengan sendirinya memperlihatkan kelemahan Inggris
kepada dunia dan menandakan kemerosotan kekuasaannya di pentas dunia. Krisis
Suez juga menunjukkan kalau Inggris tidak boleh bertindak tanpa persetujuan
atau dukungan dari Amerika Serikat.[180][181][182]
Peristiwa Suez ini membuat Inggris "terluka" secara nasional. Seorang
anggota Parlemen Inggris menggambarkannya sebagai peristiwa "Waterloo Britania",[183]
dan menyatakan kalau Inggris sudah menjadi "satelit Amerika Serikat".[184]
Margaret Thatcher kemudian mendeskripsikan pola
pikir yang menimpa pendirian politik Inggris sebagai "sindrom Suez",
sejak Inggris yang terpuruk sampai berhasil merebut kembali Kepulauan Falkland dari Argentina
pada tahun 1982.[185]
Krisis
Suez memang menyebabkan kekuatan Inggris di Timur Tengah melemah, namun
imperiumnya tidak runtuh.[186]
Inggris mengatur kembali pengiriman pasukannya ke Timur Tengah dengan
intervensi di Oman
(1957), Yordania
(1958) dan Kuwait
(1961), dan tentunya dengan persetujuan dari Amerika Serikat,[187]
yang menjadi kebijakan luar negeri Perdana Menteri Inggris yang baru, Harold
Macmillan, untuk tetap kuat bersekutu dengan Amerika Serikat.[183]
Inggris mempertahankan kehadirannya di Timur Tengah selama satu dekade
berikutnya dan baru menarik diri dari Aden pada tahun 1967
dan dari Bahrain
tahun 1971.[188]
Angin perubahan
Dekolonisasi
Inggris di Afrika. Pada akhir tahun 1960-an, semua negara kecuali Rhodesia
(sebelum menjadi Zimbabwe) dan mandat Afrika Selatan di Afrika
Barat Daya (Namibia)
memperoleh kemerdekaan.
Perdana
Menteri Inggris yang baru, Harold Macmillan, berpidato di Cape Town, Afrika
Selatan pada bulan Februari 1960, ketika dia mengatakan tentang "angin
perubahan yang bertiup di benua ini."[189]
Macmillan ingin menghindari perang kolonial seperti yang dihadapi oleh Perancis
di Aljazair,
dan menjanjikan bahwa di bawah pemerintahannya, proses dekolonisasi
akan berjalan dengan cepat.[190]
Banyak koloni Inggris yang diberinya kemerdekaan pada tahun 1950-an dan 1960-an
termasuk Sudan,
Pantai Emas (sekarang Ghana)
dan Malaysia.[191]
Koloni
Inggris yang tersisa di Afrika, kecuali Rhodesia Selatan,
semuanya diberikan kemerdekaan pada tahun 1968. Penarikan pasukan Inggris dari
bagian selatan dan timur Afrika bukanlah proses yang damai. Kemerdekaan Kenya didahului oleh
pemberontakan delapan tahun Mau Mau. Di Rhodesia,
deklarasi kemerdekaan sepihak tahun 1965 oleh minoritas kulit putih menyebabkan
perang saudara antara penduduk kulit hitam dan kulit putih yang berlangsung
hingga disahkannya Perjanjian Lancaster tahun 1979 yang meletakkan Rhodesia di
bawah kuasa Inggris. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun berikutnya
dimenangi oleh Robert Mugabe yang kemudian menjadi Perdana Menteri
bagi negara merdeka yang kini bernama Zimbabwe.[192]
Di
Mediterania, perang gerilya oleh penduduk Siprus-Yunani berakhir pada tahun
1960 dengan pembentukan negara merdeka Siprus, namun
Inggris tetap mempertahankan pangkalan-pangkalan militernya di Akrotiri dan Dhekelia. Sedangkan Malta dan Gozo diberikan
kemerdekaan pada tahun 1964.[193]
Sebagian
besar koloni Inggris di Hindia Barat memperoleh kemerdekaan setelah keluarnya Jamaika dan Trinidad dari Federasi Hindia Barat
pada tahun 1961 dan 1962. Pada awalnya Federasi Hindia Barat didirikan pada
tahun 1958 dalam upaya untuk menyatukan koloni-koloni Inggris di Karibia di bawah
satu pemerintahan, namun federasi ini dibubarkan setelah kehilangan dua anggota
terbesarnya.[194]
Barbados
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1966 dan pulau-pulau lain di Karibia menyusul
pada tahun 1970-an dan 1980-an.[194]
Namun Anguilla
dan Kepulauan Turks & Caicos memilih
untuk kembali ke Pemerintahan Inggris dalam perjalanan menuju kemerdekaannya.[195]
Kepulauan Virgin Inggris,[196]
Kepulauan
Cayman dan Montserrat juga memilih untuk tetap bersama Inggris.[197]
Guyana mencapai
kemerdekaan pada tahun 1966. Koloni terakhir Inggris di daratan Amerika,
Inggris-Honduras, menjadi koloni berpemerintahan sendiri pada tahun 1964 dan
dinamai Belize
pada tahun 1973, sebelum mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 1981.
Perselisihan antara Belize dengan Guatemala
mengenai klaim atas Belize yang tersisa masih belum terselesaikan hingga saat
ini.[198]
Teritori
Inggris di Pasifik
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1970 (Fiji) dan 1980 (Vanuatu). Proses
pemberian kemerdekaan setelah itu mengalami penundaan karena adanya konflik
politik antara penduduk yang berbahasa Inggris dengan penduduk yang berbahasa
Perancis.[199]
Fiji, Tuvalu, Kepulauan
Solomon dan Papua Nugini memilih untuk menjadi anggota Negara-Negara Persemakmuran setelah
merdeka.
Akhir Imperium Britania
Lihat pula: Perang
Falkland
Pemberian
kemerdekaan kepada Rhodesia (sebagai Zimbabwe), Hebrides Baru (sebagai Vanuatu)
pada tahun 1980, dan Belize pada tahun 1981 menandakan bahwa selain pulau-pulau
kecil yang bertaburan, proses dekolonisasi
koloni-koloni Inggris yang dimulai setelah Perang Dunia II sudah selesai. Namun
pada tahun 1982, tekad Inggris untuk mempertahankan wilayah seberang lautannya
yang tersisa diuji ketika Argentina menyerang Kepulauan Falkland, yang disebutnya sebagai
klaim atas "warisan" dari Imperium
Spanyol yang gagal pada tahun 1810.[200]
Inggris merespon dengan mengerahkan pasukan militernya untuk merebut kembali
pulau-pulau tersebut dan kemudian memicu meletusnya Perang
Falkland. Inggris berhasil mempertahankan Kepulauan Falkland dari
Argentina. Kemenangan ini dipandang oleh banyak pihak telah memberikan
kontribusi dalam mengembalikan status Inggris sebagai kekuatan dunia.[201]
Sementara itu pada tahun yang sama, Kanada memutuskan
untuk tidak lagi melibatkan Inggris dalam urusan konstitusionalnya.[202]
Tindakan serupa juga dilakukan oleh Australia dan
Selandia
Baru pada tahun 1986.[203]
Pada
bulan September 1982, Perdana Menteri Margaret
Thatcher berkunjung ke Beijing untuk berunding dengan Pemerintah RRC mengenai masa depan Hong Kong
yang pada saat itu merupakan koloni seberang laut terakhir Inggris yang paling
utama dan paling padat penduduknya.[204]
Menurut ketentuan Perjanjian Nanking 1842, Pulau Hong Kong
diberikan "selama-lamanya" kepada Inggris namun mayoritas koloni itu
dibentuk oleh Teritori Baru yang diperoleh dalam sewa selama 99 tahun
sejak tahun 1898 dan akan berakhir pada tahun 1997.[205][206]
Thatcher awalnya berniat untuk mempertahankan Hong Kong di bawah Pemerintahan
Inggris tetapi berada di bawah kedaulatan Cina, namun hal ini ditolak oleh
Pemerintah Cina.[207]
Sebuah kesepakatan akhirnya berhasil dicapai pada tahun 1984 dengan
ditandatanganinya Deklarasi Bersama Cina-Britania;
Hong Kong ditetapkan sebagai Daerah Administratif
Khusus Republik Rakyat Cina yang diizinkan untuk mempertahankan gaya
hidupnya sekurang-kurangnya 50 tahun.[208]
Upacara Penyerahan Hong Kong pada tahun 1997 ditandai oleh banyak orang,
termasuk Pangeran Charles,[209]
sebagai "akhir dari Imperium Britania".[202][210]
Peninggalan
Inggris
mempertahankan kedaulatannya atas 14 teritori di
luar Kepulauan Britania, yang selanjutnya berganti nama menjadi Wilayah Seberang Laut Britania pada
tahun 2002.[211]
Beberapa dari teritori tersebut tidak berpenghuni kecuali untuk tujuan militer
atau penelitian ilmiah sementara, sedangkan sisanya berupa pemerintahan sendiri
yang bergantung pada Inggris dalam hal hubungan luar negeri dan pertahanan.
Pemerintah Inggris telah menyatakan kesediaannya untuk membantu setiap Wilayah
Seberang Lautnya yang ingin memperoleh kemerdekaan.[212]
Beberapa Wilayah Seberang Laut Inggris tidak diakui oleh tetangga geografis
mereka: Gibraltar
diklaim oleh Spanyol, Kepulauan Falkland dan Georgia Selatan dan
Kepulauan Sandwich Selatan diklaim oleh Argentina, sedangkan Wilayah Samudera Hindia Inggris
diklaim oleh Mauritius
dan Seychelles.[213]
Teritori Antartika Inggris secara bersamaan diklaim oleh Argentina dan Chili, sementara
sebagian besar negara tidak mengakui klaim teritorial Inggris atas Antartika.[214]
Persebaran negara-negara penutur bahasa
Inggris:██ Bahasa
Inggris merupakan bahasa resmi dan bahasa nasional ██ Bahasa Inggris merupakan bahasa resmi
tetapi bukan bahasa utama
Sebagian
besar negara-negara bekas koloni Inggris adalah anggota Negara-Negara Persemakmuran, yaitu
suatu organisasi non-politik yang sifatnya sukarela. Lima belas anggota yang
tergabung dalam Wilayah Persemakmuran berbagi kepala
negara dengan Inggris.[215]
Selama
berabad-abad, Pemerintah Inggris dan imigrannya telah meninggalkan jejaknya
pada negara-negara merdeka yang muncul dari Imperium Britania. Pengaruh yang
paling besar terlihat dalam penyebaran bahasa
Inggris di berbagai wilayah di seantero dunia. Saat ini bahasa Inggris
merupakan bahasa utama bagi lebih dari 400 juta penduduk di dunia dan
dituturkan oleh sekitar satu setengah miliar orang sebagai bahasa pertama,
kedua atau bahasa internasional.[216]
Penyebaran bahasa Inggris sejak paruh kedua abad ke-20 juga turut dibantu oleh
pengaruh budaya Amerika Serikat, yang awalnya juga terbentuk dari
koloni Inggris. Dalam sistem pemerintahan, dengan pengecualian di hampir semua
bekas koloni Inggris di Afrika yang sekarang telah mengadopsi sistem presidensial, sistem parlementer Inggris telah menjadi model
umum bagi negara-negara bekas koloni Inggris, demikian juga sistem
hukum Inggris.[217]
Komisi Yudisial Dewan Privi juga masih berfungsi sebagai pengadilan tertinggi
di beberapa bekas koloni Inggris di Karibia dan Pasifik. Tentara dan Pegawai Negeri Sipil Inggris selama masa
kolonisasi juga turut menyebarkan dan membentuk Komuni
Anglikan di seluruh benua. Arsitektur kolonial Inggris seperti gereja, stasiun kereta
api dan bangunan pemerintah masih berdiri kokoh di banyak kota yang pernah
menjadi bagian dari Imperium Britania.[218]
Cabang-cabang olahraga yang berasal dari Inggris, khususnya sepak bola,
kriket, tenis dan golf, turut serta
diekspor.[219]
Penggunaan sistem pengukuran dan sistem imperial Inggris terus digunakan di
beberapa negara yang diadopsi dalam berbagai cara. Konvensi mengemudi
di sisi kiri jalan juga masih dipertahankan oleh sebagian besar
negara-negara bekas Imperium Britania.[220]
Batas-batas
politik yang diciptakan oleh Inggris tidak selalu mencerminkan kehomogenan
etnis atau agama, justru seringkali memberikan kontribusi bagi konflik di
daerah-daerah yang pernah menjadi koloni Inggris. Imperium Britania juga
bertanggung jawab atas migrasi jutaan penduduk dari Kepulauan Britania (terutama
Inggris dan Irlandia) ke Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru.
Para imigran
ini secara perlahan-lahan menanggalkan identitas ke-Inggris-an mereka setelah
terbentuknya negara baru. Imigrasi besar-besaran selama masa kejayaan Imperium
Britania seringkali menyebabkan ketegangan antar etnis dan semakin
tersingkirnya minoritas asli di wilayah koloni seperti Aborigin di
Australia, Indian
di Amerika Utara dan sebagainya. Jutaan jiwa bermigrasi dari dan ke
wilayah-wilayah koloni Inggris. Sejumlah besar orang India beremigrasi ke
bagian lain dari imperium, seperti Malaysia dan Fiji. Emigrasi warga Tionghoa,
terutama dari Cina Selatan menyebabkan terbentuknya mayoritas
Tionghoa di Singapura dan minoritas Tionghoa di Karibia. Sementara itu, komposisi
penduduk Inggris sendiri berubah setelah terjadinya Perang
Dunia II, yaitu terjadi gelombang migrasi besar-besaran dari negara-negara
koloni ke Kepulauan Britania.
Kebun
Raya Bogor, salah satu peninggalan Imperium Britania di Indonesia.
Di
Indonesia, meski masa kekuasaannya singkat, Imperium Britania juga turut
mewariskan beberapa pengaruh dan peninggalannya. Saat Raffles berkuasa,
ia membagi Pulau
Jawa menjadi 16 karesidenan, dengan tujuan untuk mempermudah pemerintah
melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasainya. Sistem
karesidenan ini tetap dipakai sampai tahun 1964. Raffles juga membentuk susunan
baru dalam pengadilan yang didasarkan pada pengadilan Inggris. Selain itu,
Raffles juga tertarik kepada sejarah, kebudayaan dan kesenian Jawa.
Ketertarikannya ini diwujudkan dalam sebuah buku karangannya mengenai sejarah
Jawa yang berjudul History of Java.
Warisan Raffles lainnya adalah sebuah kebun di Paleis Buitenzorg (Istana
Bogor), yang merupakan tempat kediaman Raffles di Indonesia (saat itu
bernama Hindia-Belanda). Berawal dari dari kebun istana ini,
Raffles berkeinginan untuk mengumpulkan bermacam- macam tanaman yang ada di
Indonesia hingga akhirnya kelak menciptakan Kebun
Raya Bogor.























